Dimana Kaum Muda untuk Regenerasi Kedaulatan Pangan?
Penulis : Anna Widuri I Editor : Joko Budiyanto
buletintanilestari.blogapot.com.Pangan merupakan kebutuhan primer bagi manusia sehingga menjadi hal yang sangat penting ada. Untuk itulah isu keamanan/keterjaminan pangan menjadi penting. Namun isu ini berkembang menjadi kedaulatan pangan dimana sarana pengadaan pangan ini wajib dimiliki oleh produsen pangan. Isu kedaulatan pangan muncul saat suatu komunitas menyadari betapa pangan sudah menjadi alat politis untuk menguasai pihak lain, menciptakan ketergantungan.
Ketersediaan
tenaga dan regenerasi menjadi syarat yang harus dipenuhi, artinya tenaga
profesi tani dan regenerasi petani (petani muda). Tentu prasarana seperti distribusi,
pemasaran dan yang mengikutinya demi ketersediaan pangan juga tidak kalah
penting untuk dijamin ada.
Disadari
atau tidak, negara-negara yang dianggap maju justru menguasai kedaulatan pangan
ini, mereka sangat menguasai sarana dan prasarana pertanian sehingga mampu mengekspor
pangan ke negara lain. Disisi lain dengan kondisi terbalik, negara-negara yang
dianggap masih berkembang mulai meninggalkan perhatian dan
pengembangan pertanian sehingga perlu mengimpor pangan dari negara lain.
Mereka memilih untuk meninggalkan sumber-sumber dan potensi lokal yang dimiliki
dan lebih suka mendatangkan pengetahuan dan prasarana dari luar. Situasi yang
benar-benar ironis. Thailand dan Vietnam menjadi perkecualian sebagai negara
berkembang yang mampu mengekspor pangan ke luar oleh karena kesetiaannya
berpegang pada penguasaan pertanian.
Dari
penalaran ini bisa dibayangkan posisi negara yang TIDAK menyediakan kebutuhan
primer bagi bangsanya akan bergantung kepada negara yang MENGUASAI pengadaan
kebutuhan primer, yakni pangan. Pangan
sebagai kebutuhan absolut bagi kelangsungan hidup bangsanya.
Sampai
pada pengamatan di Indonesia yang disebut negara agraris, gejala yang kita
temui persis pada nasib yang meninggalkan perhatian dan pengembangan pertanian
dan jelas mengimpor pangan dari luar. Lahan pertanian yang semakin menyempit,
penggunaan teknologi dan sarana (benih, obat dan pupuk) dari luar, harga dan
kualitas hasil pertanian yang kalah dengan produk dari luar dan para produsen
pangan (petani) yang rata-rata sudah relatif tua (45 tahun ke atas).
PENURUNAN
MINAT KAUM MUDA MENJADI PETANI
Kesenjangan
generasi (gap generation) yang
terjadi di pedesaan pada umumnya memberikan potret langkanya anak muda di
pedesaan dan tinggal penduduk usia non-produktif (anak-anak dan usia lanjut)
yang masih bertahan. Sementara penduduk usia produktif pedesaan lebih banyak
bekerja sebagai buruh atau belajar di kota.
Profesi
tani jauh dari cita-cita kaum muda dan apabila menjadi profesi seringkali
dengan alasan “terpaksa” karena tidak ada pilihan lain.
Persepsi
kaum muda menilai bidang pertanian tidak bisa diandalkan sebagai penopang
hidup. Mereka menilai pertanian identik dengan padi dan hamparan sawah
sementara sosok petani digambarkan seperti seorang tua renta yang sedang
memegang cangkul, memakai topi anyaman, celana lusuh dan baju dari kain bekas
karung tepung berlatar sebuah gubug berdinding bambu dan beratap daun. Profesi
petani juga dianggap sebagai simbol kemiskinan yang tidak mampu menjanjikan
kesejahteraan (http://www.pelita.or.id/baca.php?id=90472).
Sebuah gambaran petani miskin oleh karena terlanjur bergantung pada potensi
luar.
Dalam
dunia pendidikanpun juga terlihat gejala yang tidak nyaman, yakni turunnya
minat kaum muda untuk masuk sekolah atau fakultas pertanian. Dari beberapa
universitas dikeluhkan bahwa calon mahasiswa yang berminat mendaftar ke
fakultas pertanian menurun.
Data dari
Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya menggambarkan, tahun 2004 jumlah mahasiswa
pertanian mencapai 398 orang, tahun 2005 turun menjadi 350 orang, tahun 2006
hanya 303 orang, dan tahun 2007 sebanyak 343 orang. Mereka belajar di tujuh
program studi fakultas pertanian kala itu, yaitu jurusan agronomi,
hortikultura, ilmu tanah, agribisnis, penyuluhan dan komunikasi pertanian, hama
dan penyakit tumbuhan, serta pemuliaan.
Tahun
2008 pada rangkuman pendapat para akademisi dikatakan, rendahnya minat calon
mahasiswa untuk masuk ke fakultas rumpun pertanian atau agrokompleks, yaitu
pertanian, peternakan, perikanan dan kelautan serta kehutanan beberapa tahun
terakhir, akan membuat masa depan pertanian kelabu. Apalagi penurunan minat
masuk fakultas pertanian tersebut, terutama di luar Pulau Jawa mencapai 30-40%
dibanding tahun sebelumnya.
Kondisi
itu sangat memprihatinkan, padahal aktivitas masyarakat
pada bentangan agrokompleks cukup luas, mulai dari pembenihan, pembesaran,
pemanenan hingga pemasaran. Semua aktiviats itu ada lapangan dan memberikan
lapangan pekerjaan.
Demikian
rangkuman pendapat dari Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof
Dr Dasron Hamid, Pembantu Rektor (Purek) I Unhas, Prof Dr Dadang Achmad
Suryamihardja, dan Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Institut
Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Ir Yonni Koesmaryono yang dihubungi SP secara
terpisah, Jumat (1/8) dan Sabtu (2/8)
AWAL USAHA
SPTN-HPS MEMBANGKITKAN KAUM MUDA KE PERTANIAN
Diawali
dengan Kemah Kaum Muda 11-13 Januari 2007 di Wonogondang Pakem Sleman
Yogyakarta yang diikuti 92 kaum muda dari 8 (delapan) kabupaten di DIY dan
Jateng, para pemuda diperkenalkan secara langsung di lapangan mengenai
ekosistem dan pertanian. Sebagai tindaklanjut kemah ini mereka membentuk paguyuban
tani muda di tiap kabupaten yang fokus pada pertanian organik. Mereka dari di
Kab. Semarang, Purbalingga, Magelang, Temanggung, Kulonprogo, Bantul,
Purworejo, dan Kendal.
Hingga
tahun 2012 ini ada 8 (delapan) paguyuban tani muda ini masih terus bertahan
pada perhatian pertanian organik sebagai solusi mengubah citra petani yang
miskin oleh karena tergantung pada sumber luar. Kegiatan pokok paguyuban tani
muda bermacam-macam dari perikanan, budidaya sayur, budidaya padi, usaha olah
pasca panen hingga usaha simpan pinjam.
Tidak
mudah mempertahankan jumlah konstan anggota paguyuban oleh karena posisi kaum
muda yang belum stabil baik di desa maupun keluarga, apalagi mengembangkannya.
Tak jarang anggota mau tidak mau harus mencari nafkah keluar dari desa oleh
karena keterbatasan sumber yang dimiliki. Bila mereka ingin bertanipun, mereka
belum memiliki hak kepemilikan atas tanah. Ingin berdagang hasil desa, mereka
belum dipercaya sepenuhnya untuk mengelola usahanya sendiri. Itupun apabila
orangtuanya memiliki modal dan atau tanah garapan.
Namun
demikian usaha ekonomi yang dilakukan oleh kaum muda pedesaan hingga kini masih
membuat mereka bertahan di pedesaan dan melakukan pertanian seperti di Desa
Pagerharjo dengan usaha budidaya sayuran yang dipasarkan dan habis hanya oleh
konsumen di desanya, Sedang paguyuban tani muda di Wadas, Kulonprogo bertahan
menjual beras lokal organik seperti beras mentik putih (menthik
susu) yang laku keras hingga tidak mampu mencukupi permintaan pasar.
HARAPAN
KE DEPAN SEBAGAI USAHA MEMPERTAHANKAN KAUM MUDA DI PEDESAAN
Kepemilikan Kaum Muda (Youth Ownership)
Rm.
Gregorius Utomo (moderator Gerakan Pertanian Lestari Hari Pangan
Sedunia) berkali-kali menyebut “raja kopong” (dari bahasa Jawa yang artinya
raja tak berisi) kepada pengantin yang disebut “raja sehari”. Saat pengantin
ini menjadi raja, umumnya belum memiliki hak kepemilikan atas tanah. Barulah
setelah pesta perkawinan ini pengantin diberikan hak kepemilikan atas tanah.
Kebiasaan ini ternyata menjadi sebab kaum muda merasa tidak mampu bertahan
hidup di desa.
Perlunya
perubahan cara pandang para orangtua yang menganggap anak tidak memiliki hak
kepemilikan sebelum berumahtangga sejak dini akan merubah cara pandang anak
juga untuk sejak awal belajar menghargai dan mempertahankan apa yang menjadi
miliknya. Banyak kasus anak menjual sawah/tanah warisan orangtuanya yang petani
untuk membeli motor agar dia dapat menjadi tukang ojek. Diharapkan jumlah kasus
semacam ini akan tereduksi apabila anak sejak awal sudah mempelajari apa yang menjadi
miliknya.
Kemitraan Orangtua dan Orang muda (Parent Youth Partnership)
Pandangan
bahwa jika anak mengerjakan kegiatan di lahan pertanian adalah sebagai
kewajiban membantu orangtua tanpa ada pertimbangan dari segi bisnis, masih umum
melekat pada orangtua. Hampir tidak pernah terlintas bahwa saat anak membantu
kegiatan bisnis (tidak hanya di lahan), mereka adalah mitra kerjanya, yang
artinya mitra juga memiliki hak baik berpendapat, melaksanakan pengelolaan
bahkan hak diberi pembagian keuntungan yang nantinya akan dengan bebas
mengelola bagiannya.
Rasa
pesimis ini yang rata-rata diungkapkan oleh kaum muda pedesaan bahwa jika mau
mendapat untung mereka harus keluar dari keluarga. Belum juga diperhitungkan
secara psikologis saat anak membantu tanpa ada harapan mendapat keuntungan
pribadinya, anak akan cenderung mengerjakan kegiatan bisnis keluarga ini dengan
“terpaksa” dan sebatas melaksanakan kewajiban anak.
Dukungan dari Para Pemangku Kepentingan (Stakeholders)
- Lembaga Pendidikan: mengenalkan belajar bertani lestari sejak dini, seperti dari Taman kanak-kanak (mengenal ekosistem dan menanam tanaman pangan di pot)
- Pemerintah Setempat: mendorong dan mendukung kaum muda pedesaan untuk bertani lestari, misalnya dengan meminjamkan tanah kas desa untuk kaum muda berbudidaya tanaman pangan
- NGO/LSM/KSM: Bukan hanya petani tua yang didampingi, tetapi juga mendorong kaum muda pedesaan dengan program bertani lestari. (elarewi)
إرسال تعليق